Kisah Legenda Sang Joko Tingkir


Banyubiru adalah sebuah nama desa terpencil di suatu kota di Jawa Tengah. Alamnya sungguh sangat indah dan  tanahnya subur Seperti Negeri Dongeng. Di desa itu tinggal seorang lelaki yang amat saleh dan bijaksana, bernama Ki Buyut Banyubiru.

Pada suatu sore hari, datanglah seorang pemuda yang ingin berguru padanya. Pemuda itu bernama Joko Tingkir.

“Apakah benar, saya sedang berhadapan dengan Ki Buyut Banyubiru?” tanya Joko Tingkir dengan sopan dan penuh hormat kepada laki-laki setengah tua itu di hadapannya.

“Benar, akulah Ki Buyut Banyubiru dan aku sudah mengetahui keperluanmu sehingga kau datang kemari,” jawab Ki Buyut Banyubiru. Maksud dan kedatangan Joko Tingkir adalah ingin memohon pengampunan dari Sultan Demak untuk menebus kesalahannya karena telah membunuh Dadungawuk.

Adapun di rumah Ki Buyut Banyubiru selain Joko Tingkir, ternyata ada pemuda lain bernama Mas Manca yang tinggal di sana. la berasal dari Desa Kalpitu di lereng Gunung Lawu. Setiap hari kedua pemuda itu pun menerima berbagai ilmu untuk menambah kesaktiannya.

 “Mulai tengah malam ini kalian harus mampu bertahan berendam di air sungai yang dingin ini,” kata Ki Buyut Banyubiru kepada kedua pemuda itu.

“Dengan cara ini kalian akan mampu menguasai diri dan dapat mengendalikan hawa nafsu,” lanjut Ki Buyut Banyubiru. Kedua pemuda itupun menjalankan perintahnya tanpa mengeluh dan membantah.

Tak terasa Joko Tingkir telah berguru di Desa Banyubiru selama tiga bulan lamanya. Pada suatu hari ia dipanggil oleh Ki Buyut Banyubiru untuk diberi nasihat dan perintah.

“Wahai Anakku Joko Tingkir, sudah tiba saatnya kau menampakkan diri di hadapan Sultan Demak. Dan ini, terimalah segenggam tanah. Bila kelak kau berjumpa dengan banteng, masukkan tanah ini ke dalam mulutnya. Banteng itu akan mengamuk dan lari ke Alun-Alun Prawata. Saat itulah Sultan akan memanggil engkau,” kata Ki Buyut Banyubiru.

 Joko Tingkir mendengarkan dengan seksama. Lalu kemudian berpamitan dan memohon restu dari Ki Buyut Banyubiru.

Joko Tingkir juga ditemani oleh Mas Manca, Ki Wuragil dan Ki Wila menempuh perjalanan dengan menyusuri sepanjang sungai menggunakan rakit dan juga menghindari sarang lipan.

“Awas, ada buaya!” teriak Joko Tingkir. Mereka tidak menyadari ternyata rakitnya telah dikerumuni oleh sekawanan buaya besar yang langsung menyerangnya dengan buas. Dengan gagah berani mereka semua melawan dan mengalahkan buaya-buaya itu. Bahkan Joko Tingkir berhasil mengalahkan raja buaya yang keluar di sungai itu. Sebagai pengakuan kekalahannya maka sebanyak empat puluh ekor buaya berbaris membantu menopang rakit yang ditumpangi Joko Tingkir dan kawan-kawannya. Rakit itu pun meluncur cepat sehingga tanpa perlu mereka dayung lagi dan menjadi pencinta hewan buas.

Akhirnya mereka tiba di tepi sungai dan akan segera memasuki hutan belantara. Tiba-tiba mereka melihat seekor banteng sangat ganas yang siap menyerang. Koko Tingkir segera secepatnya memasukkan tanah yang diberikan oleh Ki Buyut Banyubaru ke dalam mulut banteng itu. Dan seketika itu juga banteng pun mengamuk dan lari ke Alun-Alun Prawata.

“Awas, ada banteng buas mengamuk…!” teriak penduduk sambil berlarian menyelamatkan diri. Beberapa orang mencoba menghentikan dan mengalahkan banteng itu.

Peristiwa yang menghebohkan itu akhirnya sampai didengar oleh Sultan Demak. Beliau sangat cemas memikirkan keselamatan seluruh penduduknya. Tiba-tiba ia melihat Joko Tingkir yang sedang berdiri di pinggir alun-alun yang menyaksikan banteng mengamuk itu. Segeralah Joko Tingkir dipanggil untuk menghadapnya.

“Jikalau Engkau dapat mengalahkan banteng itu, aku bersedia mengampuni seluruh kesalahanmu,” kata Sultan Demak kepada JokoTingkir.

“Hamba sanggup mengalahkan banteng itu, wahai Tuanku.” Segera ia berlutut memberikan hormat di depan Sultan Demak dan dengan cepat bersiap menghadapi banteng itu.

“Lihatlah, Joko Tingkir akan menghadapi banteng itu. la tampak sangat gagah dan tak gentar sedikit pun!” teriak seorang prajurit Demak yang terkagum-kagum meiihatnya.

Joko Tingkir segera memasuki tengah alun-alun dan siap untuk bertempur melawan sang banteng .

Kedatangannya pun langsung menarik perhatian banteng ganas itu. Banteng itu mendengus dengan keras dan siap menyeruduk dengan tanduknya yang panjang dan tajam.

Terjadilah pertarungan yang seru antara banteng buas dan Joko Tingkir. Ketika banteng itu akan menyeruduk perut badanJoko Tingkir, tiba-tiba tangan kanan Joko Tingkir menghantamkeras kepala banteng itu. Seketika kepala banteng itu pecah dan tubuhnya jatuh roboh tak berdaya. Darah segar pun mengucur dari kepalanya dan membasahi tanah sekitarnya.

Kemenangannya sangat disambut dengan sorak-sorai seluruh penduduk yang menyaksikan keberaniannya. Setelah berhasil memenangkan pertarungan sengit itu Joko Tingkir kembali menghadap Sultan Demak.

“Joko Tingkir, aku sangat berterimakasih padamu. Kau telah menyelamatkan rakyatku dari amukan banteng ganas itu. Sesuai dengan janjiku, aku telah mengampuni semua kesalahanmu,” kata Sultan Demak kepada Joko Tingkir.

Selanjutnya Joko Tingkir diangkat sebagai Kepala Lurah Prajurit Tamtama. Karena tingkah lakunya sangat sopan dan bijaksana maka akhirnya Joko Tingkir diangkat dan dijadikan menantu Sultan Demak. Sekian

Posting Komentar

0 Komentar