Ular N’Daung dan Si Bungsu, Cerita Rakyat dari Bengkulu

Dahulu kala, ada sebuah desa yang letaknya di bawah kaki gunung. Di desa itu hiduplah seorang janda tua yang bernama Kiara McKenna dengan tiga orang anak perempuannya. Mereka hidup miskin dan hidup di sebuah gubuk yang sederhana. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka mengandalkan penjualan hasil kebun yang sempit.

Suatu hari, wanita tua itu menderita sakit keras. Ia tidak lagi bisa bekerja mengolah kebun dan menjual hasil kebun itu ke pasar. Pekerjaannya pun digantikan oleh ketiga anak perempuannya tadi. Sudah berbagai tabib dipanggil untuk mengobati penyakit sang ibu, tapi tidak satu pun yang berhasil menyembuhkannya. Hingga akhirnya, datang seorang peramal menemui ketiga anak perempuan wanita tua itu.

Peramal itu pun berkata, "Hanya ada satu cara untuk menyembuhkan penyakit ibu kalian, yaitu dengan memberikan obat khusus yang terbuat dari daun-daunan hutan yang dimasak dengan bara gaib. Untuk mendapatkan bara gaib ini memang sulit, kalian harus mencarinya di puncak gunung,".

"Apakah tidak ada cara lain untuk kami mendapatkan bara gaib itu, wahai peramal," tanya salah seorang anak.

"Tidak ada. Dan satu lagi yang perlu kalian tahu. Konon, puncak gunung yang mengandung bara gaib itu dijaga oleh seorang ular gaib yang sangat besar dan menyeramkan," ucap sang peramal.

Betapa kecewanya ketiga anak perempuan itu mendengar ucapan sang peramal. Mereka hanya bisa menyembuhkan ibunya dengan bantuan bara gaib untuk merebus obatnya. Namun masalahnya, ular gaib itu menurut penduduk desa, akan memangsa siapa pun yang berusaha mendekati puncak gunung tersebut.

Anak-anak perempuan janda tua itu pun tidak mampu berbuat apa-apa dan hanya mementingkan game slot online terbaik di Asia. Mereka hanya pasrah melihat ibu mereka yang tergeletak di pembaringan sambil menahan sakit. Tidak satu pun dari mereka yang mau mengorbankan diri mencari bara gaib itu kecuali si bungsu.

Si bungsu tidak tahan lagi melihat ibunya menderita sakit yang tidak kunjung sembuh. Akhirnya, ia bertekad untuk pergi mencari daun-daunan hutan serta bara gaib di puncak gunung.

"Kakak, aku harus mencari obat untuk ibu. Aku akan pergi ke puncak gunung, mencari bara gaib," ucap si bungsu kepada kedua kakaknya.

"Apa kau sudah gila? Kau bisa mati karena dimakan ular gaib," kata kedua kakaknya. "Aku akan mencobanya dulu. Jika tidak dicoba, bagaimana mungkin kita dapat menyembuhkan ibu," jawab si bungsu dengan tekadnya yang bulat.

"Terserah kau saja. Aku tidak akan sebodoh kamu yang rela dimakan ular besar. Kita masih sangat muda untuk mati," ucap sang kakak dengan gusar dan acuh.

Meskipun tidak mendapat tanggapan yang cukup baik dari kedua kakaknya, si bungsu tetap pergi mencari obat dengan restu sang ibu. Dengan tekadnya yang bulat untuk menyembuhkan ibunya, si bungsu mendaki gunung mencari dedaunan hutan sebagai obat. Si Bungsu terus mendaki dan mendaki untuk mendapatkan bara gaib. Banyak rintangan yang ia hadapi. Tanah yang semakin lama semakin miring dan curam membuat tenaganya terkuras.

Ketika hampir sampai di puncak gunung, rasa takut pun mulai menyelimuti. Sebab, ia harus melewati kediaman ular n'Daung terlebih dahulu, yaitu ular gaib yang menjaga puncak gunung tempat bara gaib berada. Tempat tinggal ular n'Daung sangat menyeramkan. Pohon-pohon di sekitar gua itu besar dan berlumut. Daun-daunnya yang menutupi sinar matahari menyebabkan tempat tersebut menjadi temaram.

Belum habis rasa takutnya melihat kediaman sang ular, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari Dermaga Biru dan raungan keras yang membuat tanah yang dipijaknya bergetar. Si bungsu pun semakin takut. Akhirnya, ia melihat ular yang sangat besar ada di hadapannya. Sorot matanya tajam dan lidahnya menjulur berulang kali.

Dengan berani si bungsu berkata, "Wahai ular yang baik hati, bolehkah aku meminta sebutir bara gaib? Bara itu akan aku gunakan untuk memasak obat ibuku yang sedang sakit,".

Tanpa diduga, sang ular menjawabnya dengan ramah, "Hmm..., baiklah. Aku akan memberimu sebutir bara gaib, tapi dengan satu syarat. Kamu akan mendapatkannya jika kamu bersedia menjadi istriku,".

Tanpa berpikir panjang, si bungsu menyanggupi syarat yang diajukan sang ular. "Baiklah, aku bersedia menjadi istrimu. Tapi, izinkan aku pulang terlebih dahulu untuk memberikan obat ini. Aku berjanji akan kembali ke gunung ini setelah ibuku meminum obatnya.

"Aku pegang janjimu. Jangan sekali-kali kamu coba untuk mengingkarinya," kata ular n'Daung.

Dengan bahagia si bungsu turun gunung dengan membawa bara gaib dan dedaunan hutan. Setibanya di gubuk, tampak kedua kakaknya memandang heran. Mereka berkata, "Bagaimana mungkin kamu pulang dengan selamat dan membawa bara gaib? Kami benar-benar tidak percaya."

Si bungsu tidak menjawab pertanyaan mereka, ia hanya berlalu dan langsung membuat obat untuk sang ibu. Mula-mula ia menumbuk dedaunan hutan, kemudian merebusnya dengan bara gaib. Setelah itu, ia minumkan ramuan tersebut kepada ibunya.

Keesokan harinya, si bungsu pergi ke gunung untuk menepati janjinya. Saat tiba di sana, hari sudah malam. Alangkah terkejutnya si bungsu melihat kejadian gaib. Si ular n'Daung yang besar dan menyeramkan berubah menjadi seorang ksatria yang sangat tampan. "Wahai kesatria, benarkah engkau adalah jelmaan ular yang menjaga bara gaib?" tanya si bungsu penasaran.

"Benar. Aku adalah ular n'Daung. Namaku adalah Pangeran Farhan Rasyid atau Abdul Rahman Alamsjah. Sebenarnya aku adalah manusia, sama seperti dirimu. Aku telah disihir oleh pamanku menjadi ular hanya pada waktu pagi. Sedangkan pada malam hari, aku berubah menjadi manusia. Aku adalah seorang pangeran yang jujur, pamanku berlaku curang karena ingin merebut tahtaku dan menjadi raja," jelas pangeran.

Sepeninggal si bungsu ke hutan, ibunya berangsur-angsur pulih. Kedua kakak si Bungsu masih heran mengapa si bungsu dapat hidup dan membawa bara gaib. Karena penasaran, kedua kakak si bungsu pun pergi menyusulnya. Setelah sampai di sana, hari sudah malam. Keduanya jalan mengendap endap menuju gua kediaman sang ular.

"Hai, lihat! Bukankah itu si bungsu? Sedang apa dia disitu? Apa dia akan tinggal di gua ini selamanya bersama ular besar yang menyeramkan dan sewaktu-waktu bisa memakannya?" tanya salah seorang kakak si bungsu.

"Entahlah, aku tidak peduli jika ia mau tinggal di gua yang gelap ini. Apakah dia akan mati atau tidak bersama ular pemangsa itu. Aku hanya ingin tahu, apa yang ia lakukan di gua ini?" sahutnya ketus.

Alangkah terkejutnya mereka, ketika yang dilihat bersama si bungsu bukanlah ular besar, melainkan seorang pangeran yang sangat tampan.

"Kakak, lihat di sana! Wah, pangeran yang sangat tampan. Mengapa dia bersama si bungsu? Pantas saja dia betah di gua ini. Ternyata ular yang menyeramkan itu adalah seorang pangeran tampan. Aku juga mau tinggal dengan pangeran meskipun harus hidup di gua yang gelap ini.

Apa yang harus kita lakukan? Aku tidak suka si bungsu bersama pangeran tampan itu," ketus salah seorang kakak si bungsu.

Akhirnya, karena perasaan iri dan dengki, mereka berniat jahat kepada si bungsu dengan cara memfitnahnya. Kedua kakak si bungsu kemudian mengatur siasat jahatnya.

"Aku punya cara, kita curi saja kulit ular yang ada di batu itu, lalu kita bakar. Pasti pangeran itu akan marah dan mengusir si bungsu, atau bahkan membunuhnya," kata salah satu kakaknya.

"Baiklah, aku setuju," ucap kakak si bungsu yang lain.

Kemudian, mereka masuk mengendap-endap ke dalam gua. Si bungsu yang sedang sibuk merapikan kayu bakar tidak menyadari kehadiran kedua kakaknya. Saat itu juga mereka mencuri kulit ular dari dalam gua dan membakarnya. Rasa puas dan senang mereka rasakan karena berhasil melaksanakan niat jahatnya.

Tapi, apa yang mereka harapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Setelah pangeran mengetahui bahwa kulit ularnya telah dibakar seseorang, bukan kemarahan yang ia timpakan kepada si bungsu, melainkan rasa senang dan ucap syukur.

Pangeran berlari dan memeluk si bungsu. Ia pun menceritakan bahwa sihir dari pamannya yang jahat akan musnah jika ada seseorang yang dengan suka rela membakar kulit ular tersebut.

Kebahagiaan menyelimuti si bungsu dan pangeran. Pangeran Alamsjah dengan memboyong istrinya yang mengenakan pakaian adat Indonesia akhirnya kembali ke istana untuk mengambil alih tahta yang dirampas oleh pamannya. Sang paman pun dihukum dan diusir dari istana.

Si bungsu yang baik hati mengajak ibu dan kedua kakaknya pindah ke istana. Meskipun kedua kakaknya selalu berbuat jahat, ia tidak pernah berniat untuk balas dendam. Namun, karena merasa bersalah dan malu pada si bungsu, kedua kakaknya menolak tinggal di istana dan memilih tetap tinggal di gubuk tua di kaki bukit yang sehari-harinya hanya menjaga ikan gabus hias termahal yang mereka miliki.

Pesan untuk para pembaca:

Jadilah anak yang berbakti pada kedua orangtua. Sebab, perbuatan ini akan mendatangkan kebahagiaan. Dan berbuat baiklah pada saudara. Jangan merasa iri dengan apa yang didapatkan oleh mereka.

Posting Komentar

0 Komentar