Legenda Telaga Bidadari dari Kalimantan Selatan


Selain terkenal dengan pasar terapungnya, Kalimantan Selatan juga terkenal akan legenda atau cerita rakyatnya. Salah satunya adalah legenda Telaga Bidadari, yang berasal dari desa Pematang Gadung, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Hulu Sungai Selatan Provinsi Kalimantan Selatan.


Konon, nama telaga ini sendiri berasal dari bidadari yang mandi dikolam tersebut. awalnya kolam itu hanyalah kolam biasa yang pinggirannya biasa ditumbuhi pepohonan yang lebat. Menurut kepercayaan warga setempat, para bidadari akan turun dari khayangan setiap malam dan mandi disana.


Pengen tahu bagaimana cerita dari legenda Telaga Bidadari ini? Simak cerita berikut ini.


Legenda Telaga Bidadari

Pada zaman dulu kala, seorang pemuda tampan dan gagah perkasa bernama Awang Sukma mengembara sampai ke tengah hutan belantara. Ia tertegun melihat aneka macam keindahan di dalam hutan. Saat itu, Awang Sukma langsung membangun tempat tinggal di atas dengan berbagai penghuni hutan. Kehidupan di hutan sangat rukun dan damai. Para penghuni hutan mengangkat Awang Sukma menjadi penguasa daerah itu dan bergelar Datu.


Setiap satu bulan sekali, Awang Sukma yang sudah bergelar Datu itu mengadakan perjalanan keliling ke seluruh daerah kekuasaannya. Sesuatu ketika ia tiba di sebuah telaga. Telaga itu tidak begitu dalam. Airnya jernih dan bening bagaikan sebuah cermin. Letak telaga berada di bawah kerindangan pepohonan. Beberapa pohon buah-buahan tumbuh subur dan berbuah lebat. Berbagai jenis burung, tinggal dengan aman di sekitar telaga itu. Bermacam seranggapun dengan riangnya menghisap madu bunga.


“Hem, alangkah indahnya telaga ini. Ternyata hutan ini menyimpan keajaiban yang luar biasa,” gumam Datu Awang Sukma penuh kekaguman.


Ia tinggal di telaga itu sampai beberapa hari. Datu Awang Sukama pandai meniup seruling maka dari itu ia dikenal dengan nama Datu Suling.


Selama tinggal di telaga itupun, ia selalu bermain seruling. Lagu-lagu yang dibawakan sangat merdu dan indah sehingga menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya. Pada pagi yang cerah Datu Awang Sukma meninggalkan telaga yang indah. Baru beberapa langkah berjalan, ia mendengar suara riuh rendah di telaga.


“Apakah yang terjadi di telaga itu?,” gumam Datu Awang Sukma penuh tanda tanya.


Di sela-sela tumpukan batu ada celah yang biasa digunakan untuk mengintip telaga.


“Oh, hujan gadis cantik sedang mandi, mungkinkah mereka itu para bidadari dari khayangan ?,” bisik Datu Awang Sukma sambil matanya melotot.


Lama kelamaan ia malu sendiri, ia penasaran untuk mengetahui apa yang bakal terjadi pada tujuh gadis cantik itu.


Tujuh gadis cantik itu tak henti-hentinya bermain air. Mereka tidak menghiraukan selendang yang saat itu ditanggalkan dan bertebaran di sekitar telaga. Selendang itu yang mereka gunakan untuk terbang. Ada sebuah selendang yang ditaruh di sebuah dahan pohon. Kebetulan sekali pohon itu berada didekat tempat Datu Awang Sukma mengintip.


“Kesempatan yang baik ini tidak boleh aku sia-siakan. Aku harus bisa mendapatkan sebuah selendang di pohon itu,” pikir Datu Awang Sukama yakin.


“Yak!,” seru Datu Awang Sukma tak dapat menahan perasannya.


Datu Awang sukma berhasil mendapatkan sebuah selendang. Tujuh putri yang mendengar suara yang tidak diundang makhluk lain, segera mengambil selendang masing-masing.


Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata ada salah seorang putri yang tidak menemukan pakaiannya. Ia adalah putri bungsu dari tujuh bersaudara itu. Putri Bungsu bingung tujuh keliling. Padahal keenam putri sudah terbang kembali ke Khayangan. Saat itu, Datu Awang Sukma keluar dari tempat persembunyian.


“Jangan takut tuan putri, hamba akan menolong, asalkan tuan putri sudi tinggal bersama hamba,” bujuk Datu Awang Sukma.


Putri Bungsu masih ragu menerima uluran tangan Datu Awang Sukma. Namun tiada jalan lain kecuali menerima pertolongan seorang pemuda yang berada didepannya.


Datu Awang Sukma sangat kagum akan kecantikan putri Bungsu. Demikian pula putri Bungsu sangat bahagia berada di dekat seorang pemuda tampan dan gagah perkasa. Akhirnya mereka memutuskan menjadi suami istri dan menjadi pasangan yang amat serasi. Ketampanan dan kebijaksanan yang dimiliki Datu Awang Sukma berpadu dengan kecantikan dan kelemahlembutan Putri Bungsu. Tidak berapa lama Putri Bungsu mengandung. Ia melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan diberi nama Kumalasari.


Kehidupan keluarga Datu Awang Sukma sangat bahagia. Namun di dunia ini tidak ada yang kekal, semuanya akan berakhir. Demikian pula yang dialami Datu Awang Sukma dan Putri Bungsu.


Pada suatu hari, seekor ayam hitam naik keatas lumbung. Ayam hitam tersebut mengais padi di atas permukaan lumbung sambil berkotek-kotek. Putri Bungsu berusaha mengusir ayam hitam itu. Tiba-tiba dilihatnya sebuah bumbung bambu yang tergeletak di bekas kaisan ayam hitam.


“Aku harus segera membukanya,” gumam Putri Bungsu.


Bumbung dibuka. Betapa terkejutnya ia, setelah Putri Bungsu melihat isi bumbung.


“Ini selendangku!,” seru Putri Bungsu tak bisa menahan diri.


Selendang itu kemudian didekapnya erat-erat. Perasaan Putri Bungsu berkecamuk. Perasaan gemas, kesal, dan jengkel yang ditujukan kepada suaminya bercampur dengan perasaan gembira berkat selendang miliknya yang sudah dikembalikan. Aneka rasa itu bercampur dengan rasa cinta yang dalam kepada suaminya. 

“Kini saatnya aku harus kembali!,” katanya dalam hati.


Putri Bungsu segera mengenakan selendang dan menggendong putrinya yang masih balita. Datu Awang Sukma terpana melihat kejadian itu. Ia langsung mendekat dan minta maaf atas tindakan yang tidak terpuji yaitu menyembunyikan selendang Putri Bungsu.


Datu Awang Sukma sadar bahwa perpisahan dengan istrinya akan terjadi.


“Kanda, dinda mohon peliharalah Kumalasari dengan baik,” kata Putri Bungsu kepada Datu Awang Sukma.


Pandangan Datu Awang Sukma menerawang kosong ke angkasa.


“Jika anak kita merindukan dinda, ambillah tujuh biji kemiri, dan masukkan kedalam bakul yang digoncang-goncangkan dan iringilah dengan lantunan seruling. Pasti dinda akan segera datang menemuinya,” tambahnya.


Pikirannya Datu Awang Sukma yang sedang kalut tidak bisa mendengar dengan baik apa yang diucapkan istrinya.


Perpisahan akhirnya terjadi. Putri bungsu segera mengenakan selendangnya. Seketika itu juga, ia terbang ke Kayangan. Datu Awang Sukma dan Kumalasari meratap sedih berkepanjangan. Tahun demi tahun Kumalasari bertambah dewasa. Ia tumbuh menjadi seorang gadis cantik. Ia menjadi kembang desa. Datu Awang Sukmapun semakin melupakan istrinya.


Konon, Datu Awang Sukma bersumpah dan melarang anak keturunannya memelihara ayam hitam yang dianggap membawa malapetaka. Sampai sekarang desa Pematang Gadung mematuhi larangan itu.

Posting Komentar

0 Komentar