Danau yang memiliki luas sekitar 9.360 hektar dengan kedalaman 70 meter merupakan warisan budaya takbenda yang dimiliki Papua, Indonesia. danau yang dimaksud adalah Danau Sentani.
Suku yang mendiami wilayah sekitar danau adalah suku Sentani, dimana terdapat 24 kampung yang mayoritas penduduknya menggantungkan hidup sebagai nelayan tradisional.
Dibalik keindahan Danau tersebut, terselip kisah yang dipercaya masyarakat Papua. Dan pasti masih banyak diantara kamu yang belum mengetahui legenda asal mula Danau Sentani ini. Berikut cerita rakyat yang mengisahkan tentang Danau Sentani.
Asal Mula Danau Sentani
Alkisah, ada seorang bernama Haboi, penduduk kampung di atas bukit dekat Dondai yang disebut Yomoko. Kampung ini dipimpin oleh Ondofolo Wally. Suatu ketika langit menjadi semakin kelam diliputi kegelapan di siang hari.
Menghadapi situasi ini, Orang-orang Yomoko berunding dan bersepakat mendorong langit ke atas dan bumi tetap di tempatnya, supaya ada cahaya terang di bumi. Pada saat itu, Haboi memperhatikan dengan teliti bahwa orang-orang di Kampung Yamoko tidak mempunyai air dan api untuk dapat hidup layak sebagai manusia.
Karena itu, Haboi dan Ondofolo Wally mengambil sebuah gelang kristal yang disebut ‘eba’ dan tiga butir manik-manik yang disebut hawa, hay dan naro. Kedua orang ini bertekad menghadap Dobonai, penguasa hak atas air yang berdiam di Puncak Gunung Dobonsolo.
Suatu pagi yang cerah, Haboi berjalan menuruni Bukit Yomoko memasuki hutan dataran rendah ke utara kemudian mendaki, menyusuri jalan setapak dalam rimba Pegunungan Cycloops diikuti dari belakang oleh Ondofolo Wally.
Tanpa diketahui oleh keduanya, Di Puncak Gunung Dobonsolo, seekor Burung Emien milik Dobonai menginformasikan kedatangan mereka kepada penguasa air itu. Burung itu kemudian ditugaskan oleh Dobonai untuk menjemput Haboi dan Ondofolo Wally. Kedua orang ini berniat membeli air di Dobonai.
Setelah berbincang-bincang menyampaikan kehendak yang terkandung dalam pikiran mereka, Dobonai menyetujuinya dengan syarat harus melakukan pembayaran melalui dua orang petugasnya sebelum mengambil air. Kedua orang yang ditunjuk Dobonai bernama Dukumbuluh dan Roboniwai. Haboi dan Ondofolo Wally pergi menghadap dua orang itu, namun mereka melakukan kekeliruan ketika menyerahkan alat pembayaran yang mereka bawa. Gelang eba yang bernilai paling mahal diserahkan kepada Roboniwai dan manik-manik yang bernilai murah diberikan kepada Dukumbuluh.
Dalam struktur fungsi kekuasaan para penguasa air di Gunung Dobonsolo, Dukumbuluh memiliki posisi atas/tua, sedangkan Roboniwai memiliki kewenangan di bawahnya karena usia yang masih muda. Akibat dari kekeliruan Haboi dan Ondofolo Wally, Dukumbuluh menjadi berang sehingga mengakibatkan guruh dan halilintar disertai hujan badai yang sangat deras.
Setelah kondisi itu diatasi, maka keempat orang tersebut pergi menghadap Dobonai. Haboi dan Ondofolo Wally membawa ember kecil yang terbuat dari daun-daun (habu). Mula-mula Dobonai membawa mereka ke suatu tempat di alam terbuka yang berisi air yang sangat keruh. Haboi dan Ondofolo Wally tidak bersedian menerima air keruh.
Oleh karena itu, Dobonai mengantar mereka ke tempat lain yang biasa digunakan sebagai tempat pemandian. Mereka tetap menolak air dari kolam tempat mandi Dobonai yang dianggap masih tergolong air kotor.
Akhirnya Dobonai membuka tempat sumber air minum yang jernih. Kebetulan ada seekor ikan yang disebut Ikan Yowi di dalam air bening itu. Mereka mengisi ember daun-daun itu dengan air dan ikan tersebut. Dobonai menutup ember agar air tidak tumpah sambil berpesan agar selama dalam perjalanan pulang, tidak boleh berburu. Semua perlengkapan berburu diikat erat-erat agar tidak dapat digunakan.
Dalam perjalanan pulang, Haboi dan Ondofolo Wally melihat seekor babi hutan yang sangat besar. Mereka tergoda dan menurunkan ember kecil berisi air, meletakkan di atas tanah kemudian mencoba membuka peralatan berburu dari ikatannya untuk memanah babi namun tak disadari ember pecah, air di dalamnya tumpah menjadi air bah yang menghanyutkan keduanya dari tengah Gunung Dobonsolo.
Haboi dan Ondofolo Wally menghentikan derasnya air bah dengan membenamkan ujung sebilah pisau belati yang terbuat dari tulang hewan ke tanah. Air masuk ke arah tikaman pisau belati kemudian keluar lagi dan memenuhi seluruh dataran rendah, bekas air bah itu membentuk sebuah danau besar di hadapan mereka.
Air danau menghalangi perjalanan pulang Haboi dan Ondofolo Wally ke Yomoko, karena itu mereka menebang sebatang pohon yang dibentuk menjadi sebuah perahu dan dayung yang mengantar keduanya pulang kembali ke Kampung Bukit Yomoko.
Setiba di Yomoko, mereka melihat air danau tersebut ternyata sangat keruh. Haboi memerintahkan anak sulung Ondofolo Wally untuk menyelam ke dalam air kabur, namun anak itu terbenam ke dalam air bercampur dengan lumut dan lumpur tanah.
Jasad anak itu hanyut ke Kampung Yakonde di barat, berputar kembali sampai ke Kampung Puai dan Sungai Jaifuri, bahkan menurut cerita ini sampai ke Sungai Skamto dan Tami di timur kemudian kembali memasuki danau di sekitar Kampung Puai.
Haboi dan keluarga Ondofolo Wally mencari jenazah anak itu hingga menemukannya sedang terapung di permukaan air danau dekat Puai. Haboi meminta istri Ondofolo Wally mendekati jasad anaknya, namun ia juga tenggelam dan meninggal dunia bersama puteranya itu. Akhirnya, Haboi dan Ondofolo Wally pulang ke Yamoko tanpa membawa pulang jasad dua orang yang dikasihi.
0 Komentar